Perluasan Isu Internasional; Dari Hard Power ke Soft Power


Perluasan Isu Internasional; Dari Hard Power ke Soft Power

Perluasan prioritas negara dari hard power menuju soft power dimulai semenjak berakhirnya Perang Dingin. Hal ini bertolak dari ketakutan masyarakat internasional mengenai perang dan dampaknya. Jika kita menyoal mengenai power, adalah wajib untuk mengetahui ”Apa itu Power?”. Power adalah keseluruhan dari kemampuan dan elemen-elemen yang dimiliki oleh aktor (baik itu negara, individu, NGO, dsb) yang digunakan untuk mencapai kepentingannya baik politik dan ekonomi. Terlihat jelas ada tiga entitas yang hidup dalam pengertian yang penulis sampaikan; Aktor yang beragam, Politik, dan Ekonomi. Adanya tiga entitas tersebut tidak sekadar menjelaskan dari fenomena yang terjadi, namun hal tersebut didorong oleh Perluasannya paradigma dan isu di kalangan hubungan internasional.
 Pada awalnya, prioritas negara selalu bertumpu pada hard power yang mana lebih menekankan pada aspek militer dan politik dan hanya ada satu aktor yang diakui, yakni Negara (State-Centered). Seiring berjalanannya waktu dan berakhirnya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur, aktivitas masyarakat internasional juga meningkat yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi sehingga menggeser fokus negara dengan yang baru, yaitu Soft Power—yang lebih fokus kepada non-militer.
Jika dilihat secara mendasar, yang terjadi adalah perluasan perspektif keamanan itu sendiri sebab Keamanan merupakan salah satu orientasi dari Power itu sendiri. Perluasan tersebut dimulai pasca Perang Dingin, hal ini bisa dilihat pada masa Perang Dingin dimana negara-negara terjebak dalam suatu polarisasi sehingga membentuk blok-blok kekuatan dan mempengaruhi negara-negara lain untuk menentukan blok mana yang akan dipilih, kondisi ini lebih dikenal dengan istilah “bipolarisasi”—dua kutub kekuatan. Bipolarisasi pada waktu itu terjadi dikarenakan beberapa negara akan mendapat bantuan ekonomi, politik, bahkan militer (Auxilaries) dari negara-negara besar pemberi bantuan tersebut sehingga negara-negara pengikut harus menuruti kemauan negara-negara besar tersebut. Namun, tentu saja hal ini berbeda setelah berakhirnya Perang Dingin yang mana justru menimbulkan kutub-kutub kekuatan yang baru dan banyak; multipolar. Perluasan dan perluasan makna Keamanan ini ditambahlagi dengan adanya globalisasi, negara-negara tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri sehingga negara-negara lebih memilih jalan kerjasama dan dalam situasi ini muncul berbagai faktor-faktor yang mempengaruhi bergesernya konsep keamanan itu sendiri, seperti banyaknya bermunculan pressure group, internasionalisasi, pedagangan lintas batas dan demokratisasi idelogi. Di samping itu, globalisasi membuat hubungan individu, perusahaan-perusahaan, dan negara berinteraksi lebih dekat dan murah dibandingkan masa-masa sebelumnya. Kondisi ini memberi hambatan bagi otoritas suatu negara, maka dari itu bergeser pula konsepsi aktor internasional yang semula hanya negara sekarang bertambah menjadi individu, kelompok penekan, NGO, organisasi-organisasi internasional, dsb. Kendati demikian, peran suatu negara sebagai aktor internasional tidak berarti hilang begitu saja karena negara masih berperan penting dalam kesejahteraan masyarakatnya, di samping itu negara adalah pemegang kekuasaan untuk menetapkan regulasi dan masih bisa melakukan intervensi kemiliteran jika terjadi suatu konflik dengan intensitas yang tinggi.
Globalisasi mengajarkan bahwa perang tidak hanya dilakukan dengan kontak senjata antar negara, namun perang dapat pula dilakukan dengan guncangan akan keberadaan manusia dan pemikirannya. Singkatnya, globalisasi menunjukkan bahwa adanya perpindahan sifat perang itu sendiri dari Perang Fisik ke Perang Pemikiran. Hal ini dikarenakan globalisasi tidak hanya membuat perpindahan fisik manusia namun juga membawa paham-paham yang mengenai ide dan interpretasi antar manusia. Tambah lagi globalisasi melahirkan sebuah paradigma baru mengenai keamanan, yaitu Keamanan Individu. Munculnya isu Keamanan Individu beranjak dari naiknya peran aktor-aktor non-negara ke ranah internasional dan mengambil jatah di arena tersebut. Di sini terlihat jelas bahwa dengan berbagai gejolak yang ada memaksa negara-negara untuk “menyimpan” kekuaran militer mereka pada masa ini dan mulai menggunakan Soft Power untuk mencapai kepentingannya.
Soft Power menjadi priotas dikarenakan masyarakat internasional yang menentang perang. Ketika pada masa Perang Dingin muncul isu keamanan, maka negara-negara terlibat melakukan pendekatan bertumpu pada hard politics, namun hal ini berbeda ketika masa pasca Perdang Dingin yang merespon isu-isu keamanan yang bukan lagi mengenai perang atau kontak senjata antar negara, pada masa pasca Perang Dingin negara-negara mulai melakukan pendekatan soft power, seperti pendekatan ekonomi, politik, hukum, dsb. Soft Power lebih bergerak di bidang lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, dan antropologi. Soft Power menghidupkan hal-hal baru dan membuat dunia semakin kompetitif untuk ‘berperang’. Mengapa? Kita bisa mengambil Perdagangan Emisi yang mana mengaitkan dua elemen dalam Soft Power itu; Ekonomi dan Lingkungan. Pola perdagangan yang baru ini berangkat dari Protokol Kyoto mengenai lingkungan, agar menciptakan sebuah keamanan dan fair trade maka dibuatlah Perdagangan Emisi yang turut mewadahi perdagangan internasional dan reduksi karbon. Singkatnya, negara-negara industri besar seperti AS, Inggris, dll membayar kepada negara-negara dengan industri kecil yang masih terjaga hutannya karena negara-negara industri kecil tersebut menyumbang Oksigen yang banyak kepada dunia guna mereduksi polusi karbon, Indonesia berpartisipasi. Kendati demikian, hal ini adalah perdagangan dan perdagangan sudah tentu memiliki perjanjian. Ketika negara-negara industri besar meninggikan intensitas industri yang berujung pada perekonomian mereka, negara-negara dengan industri kecil penghasil oksigen tersebut dituntut untuk sekadar menjaga hutan mereka. Tentu saja hal ini bersifat ofensif, sebagian dari tentu menyadari bahwa industrialisasi adalah salah satu pilar penting dalam perekonomian suatu negara.
Terdapat korelasi antara Power, Keamanan, dan Soft Power dari contoh yang penulis berikan. Negara-negara industri besar bebas melakukan industrialisasi dan mencemari lingkungan dunia dan negara-negara industri kecil dituntut untuk menjaga hutan, negara-negara industri kecil seperti Indonesia tentu saja terpengaruhi perekonimiannya melalui perdagangan ini. Negara-negara besar tersebut menggunakan semua kapabilitas mereka untuk mencapai kepentingan mereka, setidak-tidaknya mengalahkan ekonomi negara lain. Seperti yang penulis sampaikan di paragraf sebelumnya, bahwa gejolak yang sedang terjadi saat ini memperlihatkan secara implisit bahwa perang tidak hanya melalui kontak senjata—namun bisa juga dalam kontak perpolitikan internasional.
Konflik adalah natural adanya sebab konflik hanya akan ada ketika ada persinggungan, dalam kehidupan sosial baik nasional, regional, dan internasional pasti ada yang bersinggungan dan menhidupkan konflik. Jauh sebelum zaman Machiavelli sudah ada, berbagai macam negara-negara lakukan menyikapinya, dari melalui konsep Hard Power yang bersifar state oriented dan militeristik hingga sekarang dengan penggunaan konsep Soft Power yang bersifat non-militeristik. Perluasan isu keamanan ini salah satunya adalah objek dari Keamanan itu yang pada awalnya difokuskan kepada teritorial negara bergeser kepada keamanan individu.
Walaupun adanya Perluasan isu keamanan dari Hard Power dan Soft Power, tidak semata-mata menghilangkan aspek-aspek dan nilai-nilai yang ada dalam Hard Power. Militer tetaplah suatu instrumen penting bagi eksistensi sebuah negara. Tambah lagi di berbagai negara-negara maju, budget untuk militer tetaplah paling tinggi di bandingkan budget lainnya. Hal ini kembali menekankan kepada kita bahwa sejatinya yang terjadi bukanlah “Pergeseran” melainkan “Perluasan” isu-isu Internasional dari Hard Power ke Soft Power. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Timur Tengah seperti konflik Israel-Palestina, ISIS, Arab Spring menjadi korelasi yang akurat untuk menanggapi Perluasan yang terjadi di lingkup global, bahwa sebenarnya isu-isu Hard Power tidak tergerus secara total.
 Perluasan yang terjadi memang menghambat distribusi power suatu negara yang berimbas pada kurangnya intensitas peperangan dan membuat siapa saja berhak serta dapat mengambil peran dalam arena internasional, namun tentu saja tidak menutup kemungkinan untuk menaikkan isu-isu seperti perang secara kontak fisik dan perlombaan senjata. Seperti apa yang dikatakan oleh ilmuwan Hubungan Internasional, Nye dan Owen, yang mengatakan bahwa meningkatnya kekuatan informasi akan membatasi distribusi kekuatan suatu negara. Dari pandangan tersebut, dapat kita lihat perkembangan militer sekarang ini bahwa revolusi dalam urusan kemiliteran (Revolution in Military Affairs) bukan hanya meningkatkan kemampuan destruksi atau efek penghancuran yang diberikan, melainkan teknologi informasi dan upgrade persenjataan yang semakin canggih sebagai keuntungan yang membatasi (tipikal Soft Power) di peperangan mendatang.


Postingan Populer