Perluasan Isu Internasional; Dari Hard Power ke Soft Power
Oleh: Satya Wira Wicaksana
Perluasan
prioritas negara dari hard power menuju
soft power dimulai semenjak
berakhirnya Perang Dingin. Hal ini bertolak dari ketakutan masyarakat
internasional mengenai perang dan dampaknya. Jika kita menyoal mengenai power, adalah wajib untuk mengetahui
”Apa itu Power?”. Power adalah keseluruhan dari kemampuan
dan elemen-elemen yang dimiliki oleh aktor (baik itu negara, individu, NGO,
dsb) yang digunakan untuk mencapai kepentingannya baik politik dan ekonomi.
Terlihat jelas ada tiga entitas yang hidup dalam pengertian yang penulis
sampaikan; Aktor yang beragam, Politik, dan Ekonomi. Adanya tiga entitas
tersebut tidak sekadar menjelaskan dari fenomena yang terjadi, namun hal
tersebut didorong oleh Perluasannya paradigma dan isu di kalangan hubungan
internasional.
Pada awalnya, prioritas negara selalu bertumpu
pada hard power yang mana lebih
menekankan pada aspek militer dan politik dan hanya ada satu aktor yang diakui,
yakni Negara (State-Centered).
Seiring berjalanannya waktu dan berakhirnya Perang Dingin antara Blok Barat dan
Blok Timur, aktivitas masyarakat internasional juga meningkat yang dipengaruhi
oleh perkembangan teknologi sehingga menggeser fokus negara dengan yang baru,
yaitu Soft Power—yang lebih fokus
kepada non-militer.
Jika
dilihat secara mendasar, yang terjadi adalah perluasan perspektif keamanan itu
sendiri sebab Keamanan merupakan salah satu orientasi dari Power itu sendiri. Perluasan tersebut dimulai pasca Perang Dingin,
hal ini bisa dilihat pada masa Perang Dingin dimana negara-negara terjebak
dalam suatu polarisasi sehingga membentuk blok-blok kekuatan dan mempengaruhi
negara-negara lain untuk menentukan blok mana yang akan dipilih, kondisi ini
lebih dikenal dengan istilah “bipolarisasi”—dua kutub kekuatan. Bipolarisasi
pada waktu itu terjadi dikarenakan beberapa negara akan mendapat bantuan
ekonomi, politik, bahkan militer (Auxilaries)
dari negara-negara besar pemberi bantuan tersebut sehingga negara-negara
pengikut harus menuruti kemauan negara-negara besar tersebut. Namun, tentu saja
hal ini berbeda setelah berakhirnya Perang Dingin yang mana justru menimbulkan
kutub-kutub kekuatan yang baru dan banyak; multipolar. Perluasan dan perluasan
makna Keamanan ini ditambahlagi dengan adanya globalisasi, negara-negara tidak
bisa menyelesaikan masalahnya sendiri sehingga negara-negara lebih memilih
jalan kerjasama dan dalam situasi ini muncul berbagai faktor-faktor yang
mempengaruhi bergesernya konsep keamanan itu sendiri, seperti banyaknya
bermunculan pressure group, internasionalisasi,
pedagangan lintas batas dan demokratisasi idelogi. Di samping itu, globalisasi
membuat hubungan individu, perusahaan-perusahaan, dan negara berinteraksi lebih
dekat dan murah dibandingkan masa-masa sebelumnya. Kondisi ini memberi hambatan
bagi otoritas suatu negara, maka dari itu bergeser pula konsepsi aktor
internasional yang semula hanya negara sekarang bertambah menjadi individu,
kelompok penekan, NGO, organisasi-organisasi internasional, dsb. Kendati
demikian, peran suatu negara sebagai aktor internasional tidak berarti hilang
begitu saja karena negara masih berperan penting dalam kesejahteraan
masyarakatnya, di samping itu negara adalah pemegang kekuasaan untuk menetapkan
regulasi dan masih bisa melakukan intervensi kemiliteran jika terjadi suatu
konflik dengan intensitas yang tinggi.
Globalisasi
mengajarkan bahwa perang tidak hanya dilakukan dengan kontak senjata antar
negara, namun perang dapat pula dilakukan dengan guncangan akan keberadaan
manusia dan pemikirannya. Singkatnya, globalisasi menunjukkan bahwa adanya
perpindahan sifat perang itu sendiri dari Perang Fisik ke Perang Pemikiran. Hal
ini dikarenakan globalisasi tidak hanya membuat perpindahan fisik manusia namun
juga membawa paham-paham yang mengenai ide dan interpretasi antar manusia.
Tambah lagi globalisasi melahirkan sebuah paradigma baru mengenai keamanan,
yaitu Keamanan Individu. Munculnya isu Keamanan Individu beranjak dari naiknya
peran aktor-aktor non-negara ke ranah internasional dan mengambil jatah di
arena tersebut. Di sini terlihat jelas bahwa dengan berbagai gejolak yang ada
memaksa negara-negara untuk “menyimpan” kekuaran militer mereka pada masa ini
dan mulai menggunakan Soft Power untuk
mencapai kepentingannya.
Soft Power menjadi
priotas dikarenakan masyarakat internasional yang menentang perang. Ketika pada
masa Perang Dingin muncul isu keamanan, maka negara-negara terlibat melakukan
pendekatan bertumpu pada hard politics, namun
hal ini berbeda ketika masa pasca Perdang Dingin yang merespon isu-isu keamanan
yang bukan lagi mengenai perang atau kontak senjata antar negara, pada masa
pasca Perang Dingin negara-negara mulai melakukan pendekatan soft power, seperti pendekatan ekonomi,
politik, hukum, dsb. Soft Power lebih
bergerak di bidang lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, dan antropologi. Soft Power menghidupkan hal-hal baru dan
membuat dunia semakin kompetitif untuk ‘berperang’. Mengapa? Kita bisa
mengambil Perdagangan Emisi yang mana mengaitkan dua elemen dalam Soft Power itu; Ekonomi dan Lingkungan.
Pola perdagangan yang baru ini berangkat dari Protokol Kyoto mengenai
lingkungan, agar menciptakan sebuah keamanan dan fair trade maka dibuatlah Perdagangan Emisi yang turut mewadahi
perdagangan internasional dan reduksi karbon. Singkatnya, negara-negara
industri besar seperti AS, Inggris, dll membayar kepada negara-negara dengan
industri kecil yang masih terjaga hutannya karena negara-negara industri kecil
tersebut menyumbang Oksigen yang banyak kepada dunia guna mereduksi polusi
karbon, Indonesia berpartisipasi. Kendati demikian, hal ini adalah perdagangan
dan perdagangan sudah tentu memiliki perjanjian. Ketika negara-negara industri
besar meninggikan intensitas industri yang berujung pada perekonomian mereka,
negara-negara dengan industri kecil penghasil oksigen tersebut dituntut untuk
sekadar menjaga hutan mereka. Tentu saja hal ini bersifat ofensif, sebagian
dari tentu menyadari bahwa industrialisasi adalah salah satu pilar penting
dalam perekonomian suatu negara.
Terdapat
korelasi antara Power, Keamanan, dan Soft Power dari contoh yang penulis
berikan. Negara-negara industri besar bebas melakukan industrialisasi dan
mencemari lingkungan dunia dan negara-negara industri kecil dituntut untuk
menjaga hutan, negara-negara industri kecil seperti Indonesia tentu saja
terpengaruhi perekonimiannya melalui perdagangan ini. Negara-negara besar
tersebut menggunakan semua kapabilitas mereka untuk mencapai kepentingan
mereka, setidak-tidaknya mengalahkan ekonomi negara lain. Seperti yang penulis
sampaikan di paragraf sebelumnya, bahwa gejolak yang sedang terjadi saat ini
memperlihatkan secara implisit bahwa perang tidak hanya melalui kontak
senjata—namun bisa juga dalam kontak perpolitikan internasional.
Konflik
adalah natural adanya sebab konflik hanya akan ada ketika ada persinggungan,
dalam kehidupan sosial baik nasional, regional, dan internasional pasti ada
yang bersinggungan dan menhidupkan konflik. Jauh sebelum zaman Machiavelli
sudah ada, berbagai macam negara-negara lakukan menyikapinya, dari melalui
konsep Hard Power yang bersifar state oriented dan militeristik hingga
sekarang dengan penggunaan konsep Soft
Power yang bersifat non-militeristik. Perluasan isu keamanan ini salah
satunya adalah objek dari Keamanan itu yang pada awalnya difokuskan kepada
teritorial negara bergeser kepada keamanan individu.
Walaupun
adanya Perluasan isu keamanan dari Hard
Power dan Soft Power, tidak
semata-mata menghilangkan aspek-aspek dan nilai-nilai yang ada dalam Hard Power. Militer tetaplah suatu instrumen
penting bagi eksistensi sebuah negara. Tambah lagi di berbagai negara-negara
maju, budget untuk militer tetaplah paling tinggi di bandingkan budget lainnya.
Hal ini kembali menekankan kepada kita bahwa sejatinya yang terjadi bukanlah
“Pergeseran” melainkan “Perluasan” isu-isu Internasional dari Hard Power ke Soft Power. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Timur Tengah
seperti konflik Israel-Palestina, ISIS, Arab
Spring menjadi korelasi yang akurat untuk menanggapi Perluasan yang terjadi
di lingkup global, bahwa sebenarnya isu-isu Hard
Power tidak tergerus secara total.
Perluasan yang terjadi memang menghambat
distribusi power suatu negara yang berimbas pada kurangnya intensitas
peperangan dan membuat siapa saja berhak serta dapat mengambil peran dalam
arena internasional, namun tentu saja tidak menutup kemungkinan untuk menaikkan
isu-isu seperti perang secara kontak fisik dan perlombaan senjata. Seperti apa
yang dikatakan oleh ilmuwan Hubungan Internasional, Nye dan Owen, yang
mengatakan bahwa meningkatnya kekuatan informasi akan membatasi distribusi
kekuatan suatu negara. Dari pandangan tersebut, dapat kita lihat perkembangan
militer sekarang ini bahwa revolusi dalam urusan kemiliteran (Revolution in Military Affairs) bukan
hanya meningkatkan kemampuan destruksi atau efek penghancuran yang diberikan,
melainkan teknologi informasi dan upgrade
persenjataan yang semakin canggih sebagai keuntungan yang membatasi
(tipikal Soft Power) di peperangan
mendatang.