KASTRAT | Kekerasan Seksual dalam Perspektif Struktural: Analisis Implementasi UU TPKS Nomor 12 Tahun 2022 di Indonesia

 

Kekerasan Seksual dalam Perspektif Struktural: Analisis Implementasi UU TPKS Nomor 12 Tahun 2022 di Indonesia

Oleh: Departemen Kastrat ASR KOMAHI FISIP UNRI

 

PENDAHULUAN

Kekerasan seksual adalah pelanggaran hak asasi manusia yang mencerminkan ketidaksetaraan gender serta memanfaatkan kekuasaan atau posisi tertentu untuk memaksa, mengancam, atau mengganggu kebebasan seseorang dalam melakukan aktivitas seksual tanpa persetujuan atau melanggar kehendak korban. Tindakan kekerasan seksual ini tidak hanya merusak fisik dan psikologis korban, tetapi juga menghancurkan hak-hak dasar individu dalam menjalani kehidupan yang aman dan bebas dari ancaman. Menurut Pasal 4 ayat (1) UU TPKS No 12 tahun 2022, tindak pidana kekerasan seksual ialah termasuk pelecehan seksual nonfisik seperti pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan korban, kemudian juga pelecehan seksual fisik, seperti pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Sementara itu, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sering kali terjadi ketika salah satu pihak, biasanya pasangan suami istri atau mantan pasangan, memaksakan hubungan seksual atau perilaku seksual yang tidak diinginkan dalam ikatan rumah tangga. Kejadian-kejadian ini sering kali disertai dengan ancaman, intimidasi, atau pemaksaan fisik yang membuat korban merasa terperangkap dan tidak berdaya. KDRT bisa berupa fisik, psikis, ekonomi, atau seksual, dan sering kali membatasi kebebasan serta merusak martabat korban.

Di Indonesia, kekerasan seksual merupakan masalah serius dan memprihatinkan yang terus berkembang dan seringkali terjadi di berbagai lapisan masyarakat. Untuk itu, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Undang-undang ini bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi korban serta memastikan penegakan hukum yang lebih tegas bagi pelaku. Namun, meskipun UU TPKS telah hadir sebagai instrumen hukum progresif, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan. Kekerasan seksual di Indonesia seringkali terjadi dalam lingkup yang dekat dengan korban, seperti di rumah atau di lingkungan kerja, sehingga membuat banyak korban merasa terjebak dan sulit untuk melapor. Salah satu faktor yang memperburuk masalah ini adalah minimnya pemahaman masyarakat mengenai apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual serta rendahnya tingkat kesadaran akan pentingnya persetujuan dalam setiap hubungan seksual. Berbagai bentuk kekerasan seksual ini memiliki dampak yang sangat besar terhadap korban, baik secara fisik, emosional, maupun mental. Selain itu, stigma sosial yang melekat pada korban juga sering menjadi penghalang utama dalam proses pemulihan dan pencarian keadilan. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana faktor struktural, hukum, dan sosial mempengaruhi tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia serta mengevaluasi efektivitas UU TPKS dalam memberikan perlindungan bagi korban

PEMBAHASAN

Kekerasan seksual bukan hanya soal perilaku individu, tetapi sering kali muncul dari ketimpangan yang sudah tertanam dalam struktur sosial kita. Ketimpangan ini, yang disebut sebagai kekerasan struktural, adalah hasil dari sistem yang tidak adil dan sering kali menguntungkan satu pihak, sementara pihak lain dirugikan. Dalam hal ini, perempuan menjadi kelompok yang paling terdampak. Ketidaksetaraan gender yang didukung oleh norma sosial, budaya, dan hukum menciptakan situasi di mana perempuan rentan terhadap kekerasan seksual. Mereka sering kali tidak hanya menghadapi pelaku secara langsung, tetapi juga struktur yang memperkuat posisi pelaku dan melemahkan posisi mereka sebagai korban.

Dalam analisis Johan Galtung, kekerasan struktural terjadi ketika sistem sosial menciptakan ketidakadilan dan ketimpangan yang membuat kelompok tertentu menjadi rentan. Kekerasan ini tidak memiliki pelaku individu yang jelas, tetapi terwujud melalui institusi, norma, atau kebijakan yang secara tidak langsung menyebabkan penderitaan. Dalam konteks kekerasan seksual, sistem sosial yang patriarkal menciptakan hierarki gender yang meminggirkan perempuan dan mengukuhkan dominasi laki-laki. Struktur ini memungkinkan kekerasan seksual terjadi sebagai bagian dari pola ketidakadilan yang dianggap normal. Ketidakadilan struktural ini menjadi akar dari banyak kasus kekerasan seksual, di mana perempuan tidak hanya menjadi korban tindakan individu, tetapi juga korban dari sistem yang tidak adil.

Di masyarakat yang patriarkal, relasi antara laki-laki dan perempuan sering kali tidak seimbang. Budaya yang mengakar kuat menempatkan laki-laki sebagai pemimpin atau figur yang lebih dominan, sementara perempuan diharapkan untuk tunduk atau menerima perlakuan yang tidak adil sebagai hal yang “wajar.” Dalam banyak kasus, norma-norma ini memperburuk situasi, menjadikan perempuan seolah-olah bertanggung jawab atas kekerasan yang mereka alami. Misalnya, ketika perempuan menjadi korban kekerasan seksual, masyarakat cenderung menyalahkan cara berpakaian atau perilaku mereka, bukannya fokus pada kesalahan pelaku. Hal ini semakin mengukuhkan posisi perempuan sebagai pihak yang rentan dalam sistem sosial kita.

Relasi kuasa juga memiliki peran penting dalam membentuk kekerasan seksual. Kekerasan seksual sering kali terjadi dalam situasi di mana ada ketimpangan kekuasaan antara pelaku dan korban. Contohnya adalah kasus di tempat kerja, di mana atasan menggunakan posisi kekuasaannya untuk memanipulasi atau memaksa bawahan. Relasi kuasa ini tidak hanya terjadi dalam konteks profesional, tetapi juga di lingkungan keluarga, institusi pendidikan, atau komunitas religius. Ketika pelaku memiliki kendali atas korban, baik secara ekonomi, sosial, maupun psikologis, korban sering kali tidak memiliki ruang untuk melawan atau melapor. Kondisi ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual tidak dapat dipisahkan dari dinamika kuasa yang ada di masyarakat, di mana kelompok yang lebih kuat cenderung menggunakan kekuasaannya untuk mengeksploitasi kelompok yang lebih lemah.

Kekerasan seksual juga dipertahankan oleh institusi yang seharusnya melindungi masyarakat. Banyak korban menghadapi hambatan saat melapor, baik karena kurangnya dukungan hukum maupun sikap aparat yang tidak memadai. Dalam beberapa kasus, pelaku kekerasan seksual memiliki posisi kekuasaan yang membuat mereka sulit disentuh oleh hukum. Di tempat kerja, di institusi pendidikan, atau bahkan dalam keluarga, relasi kuasa yang timpang memungkinkan kekerasan terjadi tanpa ada konsekuensi yang berarti. Situasi ini menciptakan ketakutan dan rasa tidak berdaya pada korban, yang akhirnya memilih untuk diam demi menghindari stigma atau risiko yang lebih besar.

Budaya yang mendukung ketidakadilan gender juga menjadi bagian dari masalah ini. Dalam banyak masyarakat, perempuan diajarkan untuk menerima perlakuan yang tidak pantas sebagai bagian dari “kodrat” mereka. Sikap ini tidak hanya membatasi kebebasan perempuan, tetapi juga memberikan ruang bagi laki-laki untuk merasa memiliki hak atas tubuh perempuan. Ketika hal ini terus dibiarkan, kekerasan seksual tidak lagi dilihat sebagai masalah yang mendesak, melainkan dianggap sebagai bagian dari kehidupan yang “normal.” Padahal, membiarkan ketidakadilan ini berarti memperkuat struktur yang selama ini merugikan kelompok rentan dan mengakibatkan dampak luas kepada korban, baik pada kesehatan fisik, psikologis, kondisi ekonomi, hubungan sosial antara korban dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya sehingga dapat mempengaruhi korban dalam mendapatkan hak-hak asasinya yang pada akhirnya membuat perempuan tetap berada dalam posisi yang tidak setara dengan laki-laki.

Dari segi hukum, pemerintah bertanggung jawab memantau pelanggaran hak asasi manusia melalui lembaga khusus seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, dan KND yang dikoordinasikan oleh kementerian dan lembaga terkait. Namun tetap, program perlindungan dan pemulihan bagi korban harus terus ditingkatkan, termasuk memberikan pertolongan darurat, dukungan psikologis, dan penguatan hukum bagi korban. Untuk itu, pemerintah mengesahkan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sebagai perhatian khusus dalam bidang hukum, karena perempuan dan anak-anak di Indonesia memerlukan peraturan yang melindungi mereka dari kekerasan seksual. Undang-undang ini memperjelas jenis tindak pidana kekerasan seksual, menjamin proses hukum yang lebih ketat bagi pelaku dan memberikan hak-hak bagi korban.

Dalam Pasal 23 UU TPKS Nomor 12 Tahun 2022 menegaskan bahwa “Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang” yang mana pasal ini dibuat untuk mencegah penyelesaian kasus secara damai atas nama keluarga, adat, atau kehormatan yang sering kali mengorbankan hak-hak korban terutama perempuan yang dipaksa menerima kondisi dengan tekanan sosial yang ada. Contoh penyelesaian secara damai yang sering digunakan adalah pemaksaan korban untuk menikahi pelaku dalam kasus perkosaan. Cara ini tidak hanya mengabaikan keadilan bagi korban tetapi juga berpotensi memberikan dampak jangka panjang bagi korban.

Maka dari itu, melalui Pasal 10 UU TPKS Nomor 12 Tahun 2022, secara tegas menjadikan segala perbuatan pemaksaan perkawinan termasuk perkawinan anak, perkawinan atas nama budaya, hingga pemaksaan korban untuk menikahi pelaku sebagai tindak pidana. Hal ini tertuang dalam ayat (1) Pasal 10 UU TPKS Nomor 12 Tahun 2022 “Setiap Orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”. Langkah ini menjadi upaya menghapus praktik-praktik budaya yang selama ini dianggap mengganggap remeh kekerasan seksual.

Meskipun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah hadir dengan sejumlah terobosan hukum dan mengadopsi elemen-elemen kunci penghapusan kekerasan seksual, nyatanya implementasi UU TPKS di lapangan masih menghadapi banyak tantangan. Komnas Perempuan (2024) mengidentifikasi lima faktor yang mempengaruhi penegakan UU TPKS, yakni faktor hukum, aparat penegak hukum, sarana dan fasilitas, masyarakat dan faktor kebudayaan. Hal ini dapat dilihat melalui banyaknya kasus kekerasan seksual yang ada justru diarahkan untuk melakukan penyelesaian secara kekeluargaan dengan opsi mediasi kedua pihak, yang mana terjadi jika kekurangan bukti fisik yang kuat dan kurangnya pemahaman aparat yang terbatas terhadap UU TPKS, ditambah dengan pandangan buruk yang muncul dari masyarakat yang menilai korban sebagai aib keluarga, terutama dalam budaya patriarkal yang membuat korban sulit mendapat dukungan yang dibutuhkan. Selain itu, faktor ekonomi juga memiliki peran penting dalam implementasi UU TPKS, dimana banyak korban yang masih bergantung secara ekonomi pada pasangan atau keluarganya, sehingga mereka terpaksa bertahan dalam kondisi yang rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi yang ada. Disisi lain, rendahnya wawasan mengenai hak dan kesetaraan gender membuat implementasi semakin sulit, dimana lingkungan keluarga dan pendidikan formal jarang membahas isu ini sehingga kesadaran masyarakat menjadi sangat terbatas.

Kekerasan seksual adalah masalah kompleks yang tidak bisa diselesaikan sekadar dengan hukum pidana saja, untuk mengubah budaya dan mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual memerlukan upaya lebih lanjut melalui kerja sama dengan berbagai lintas sektor. Upaya ini dapat dimulai dari lingkup keluarga sebagai garda terdepan mencegah dan menangani kekerasan seksual, dimana orang tua perlu belajar memahami dan memberikan edukasi sedari dini pada anak mengenai hal-hal yang seharusnya diwaspadai, menguatkan moral dan agama, komunikasi, hingga ikatan emosional. Keluarga harus selalu siap memberikan dukungan dan pertolongan pada anggota keluarganya.

Salah satu cara efektif untuk mencegah kekerasan seksual adalah melalui pendidikan. Tenaga pendidik perlu dilatih untuk memahami dan menangani isu kekerasan seksual di lingkungan formal ini, terutama untuk sekolah yang masih terbelakang. Informasi tentang bahaya dan pencegahan serta kebijakan mengenai kekerasan seksual harus dipahami seluruh siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan beragam cara, seperti membuat jadwal khusus sosialisasi, menyuarakan kesetaraan gender dan hak, membuat program pemantauan, dan lain sebagainya. Untuk itu, partisipasi masyarakat merupakan kunci utama dalam pencegahan. Menciptakan lingkungan aman dan mendukung pemulihan korban merupakan kontribusi yang penting agar upaya pencegahan menjadi efektif. Hal ini dapat dilakukan dengan memahami isu dan membudayakan literasi kekerasan seksual secara fisik juga non-fisik serta literasi digital dimana masyarakat harus mengetahui hak-hak digital, bahaya siber, ancaman kekerasan berbasis gender di dunia digital dan cara melindungi diri dari kekerasan siber. Selain itu, norma-norma sosial, tradisi, dan praktik budaya yang bertentangan dengan upaya pencegahan kekerasan seksual harus dikoreksi.

KESIMPULAN

Kekerasan seksual merupakan fenomena yang berakar dalam struktur sosial yang tidak adil. Meskipun pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dengan tujuan memberikan kerangka hukum yang lebih jelas dalam menangani kasus kekerasan seksual, namun tantangan dalam implementasinya masih sangat besar. Fenomena kekerasan seksual di Indonesia seringkali terjadi di berbagai lapisan masyarakat dan dalam berbagai konteks, baik itu di lingkungan rumah tangga, tempat kerja, sekolah, maupun ruang publik.Salah satu aspek yang menjadi tantangan besar dalam penanggulangan kekerasan seksual adalah norma sosial yang masih menyalahkan korban atau menyembunyikan permasalahan ini. Ketidaksetaraan gender, di mana perempuan sering kali dianggap lebih lemah atau inferior, membuka peluang bagi perilaku kekerasan seksual untuk terus berkembang. Masyarakat juga cenderung untuk menutup mata terhadap kasus-kasus kekerasan seksual, terutama yang terjadi di dalam lingkungan keluarga, seperti pada kasus kekerasan dalam rumah tangga, yang sering kali dianggap sebagai urusan pribadi yang tidak perlu campur tangan pihak luar.

Menghapus kekerasan seksual yang berakar pada kekerasan struktural membutuhkan reformasi mendalam, mulai dari mengubah cara kita memandang gender hingga menciptakan kebijakan yang berpihak pada korban. Pendidikan kesetaraan gender sejak usia dini juga penting untuk membangun generasi yang lebih peduli dan menghormati hak orang lain. Selain itu, kita perlu menciptakan ruang yang aman bagi korban untuk berbicara tanpa rasa takut atau malu. Dengan kerja sama dari semua pihak, kita bisa mulai membangun masyarakat yang lebih adil dengan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi korban serta dukungan psikologis yang memadai untuk membantu mereka pulih dari trauma.

 


 

REFERENSI

Junaini, W., Asriwandari, H., & Hidir, A. (2023). Objektifikasi Perempuan Dalam Relasi Kuasa (Studi Terhadap Empat Perempuan Pada Kasus Kekerasan Seksual Di Kota Pekanbaru). Journal of Social Science Research, 4(3), 5571 - 5580. https://j-innovative.org/index.php/Innovative

Komnas Perempuan. (2024a). Pengantar Memahami UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.

Komnas Perempuan. (2024b). Dua Tahun UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual: Tantangan dan Rekomendasi Percepatan Pelaksanaan UU TPKS. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.

Lp3s2022. (2022). Ketidakadilan Sistemik Masalah Utama Kekerasan Terhadap Perempuan. Lp3s. https://www.lp3es.or.id/tag/kekerasan-struktural/

Prasetya UB. (2005). Kekerasan Perempuan, Karena Faktor Kultural dan Struktural. Prasetya Online. https://prasetya.ub.ac.id/kekerasan-perempuan-karena-faktor-kultural-dan-struktural/

Rozi, I. F. (n.d.). Mengenal Definisi Kekerasan Menurut Johan Galtung. Binus University. https://binus.ac.id/bandung/2023/01/mengenal-definisi-kekerasan-menurut-johan-galtung/

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

 

 

Postingan Populer