KASTRAT | Tiga Pilar Krisis Global: Ancaman Geopolitik, Krisis Iklim, dan Tantangan Teknologi
Tiga
Pilar Krisis Global: Ancaman
Geopolitik, Krisis Iklim, dan Tantangan Teknologi
Oleh: Departemen Kastrat ASR KOMAHI FISIP UNRI
PENDAHULUAN
Di tengah tatanan
global yang terus berubah
dengan berbagai kebijakan-kebijakannya, dunia pada saat ini dihadapkan pada kondisi yang tidak menentu dengan krisis-krisis yang berdampak signifikan
terhadap stabilitas global. Krisis ini tidak hanya mempengaruhi satu negara
atau wilayah, tetapi memiliki efek domino yang dapat mengguncang perekonomian,
keamanan, bencana alam, kesejahteraan
masyarakat, hingga ketimpangan sosial yang terus meningkat di seluruh dunia. Pada tahun 2024, European
Civil Protection and Humanitarian Aid Operations melihat bahwa hampir 300 juta
orang di 72 negara akan membutuhkan bantuan dan perlindungan kemanusiaan berdasarkan data yang diperoleh dari PBB. Dengan keterbatasan sumber daya
dan ketidakseimbangan geopolitik, dunia menghadapi tantangan besar dalam
merespons situasi ini.
Ketidakstabilan global ini tidak dapat dilepaskan dari
dinamika politik internasional yang semakin kompleks. Ketegangan antara
negara-negara besar kerap menjadi pemicu utama krisis multidimensional yang
meluas ke berbagai sektor, seperti ekonomi, energi, dan keamanan. Dalam beberapa dekade terakhir, konflik-konflik besar
seperti perang antara Rusia dan Ukraina, ketegangan di Timur Tengah, serta
perang dagang antara negara-negara besar telah menunjukkan betapa besar dampak
dari konflik-konflik tersebut terhadap ekonomi global, karena dampaknya tidak
hanya terasa di negara-negara yang terlibat, tetapi juga menyebar ke seluruh
dunia. Ketidakpastian ini berdampak langsung pada
perdagangan internasional, pasokan energi, serta stabilitas keuangan global.
Selain faktor geopolitik, dunia juga menghadapi
ancaman dari perubahan iklim yang semakin menantang. Fenomena seperti
kekeringan ekstrem, banjir bandang, badai dahsyat, dan kebakaran hutan semakin
sering terjadi, merusak lahan pertanian di berbagai belahan dunia. Perubahan
iklim telah menjadi ancaman signifikan terhadap ketahanan pangan dunia, yang
ternyata berkaitan erat dengan berbagai krisis lainnya. Keterkaitan antara krisis iklim dan ketimpangan sosial
semakin memperburuk kondisi global, mendorong jutaan orang ke dalam kemiskinan
dan meningkatkan risiko konflik akibat perebutan sumber daya alam.
Di sisi lain, revolusi teknologi membawa tantangan
baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kecerdasan buatan (AI) berkembang
dengan sangat pesat, menciptakan disrupsi di berbagai sektor ekonomi. Pada 2023, ekonom Goldman Sachs
memperkirakan bahwa 300 juta pekerjaan
di seluruh dunia berisiko tergantikan oleh AI dalam beberapa dekade ke
depan. Selain itu, ancaman keamanan siber semakin meningkat, dengan serangan
digital yang menargetkan infrastruktur vital dan institusi pemerintahan. Jika
tidak dikelola dengan baik, lonjakan teknologi ini berpotensi memperburuk
ketimpangan sosial dan meningkatkan ketidakstabilan global.
Dalam menghadapi berbagai tantangan ini, kajian ini
bertujuan untuk menganalisis tiga krisis utama yang diperkirakan akan
memberikan dampak besar terhadap stabilitas dunia, yaitu konflik geopolitik,
bencana iklim, serta disrupsi teknologi. Pemahaman yang lebih komprehensif
mengenai ketiga isu ini akan membantu dalam merancang strategi yang lebih
efektif untuk menghadapi krisis global.
PEMBAHASAN
Konflik geopolitik merupakan salah satu fenomena yang
tidak hanya memengaruhi hubungan antara negara-negara secara politik, tetapi
juga memberikan dampak yang luas terhadap perekonomian global. Geopolitik, yang
berkaitan dengan interaksi antara kekuatan politik, ekonomi, dan geografis,
dapat memicu ketegangan antar negara atau bahkan peperangan yang berpotensi
merubah tatanan ekonomi dunia. Salah satu contoh konflik geopolitik yang hingga
saat ini belum menunjukkan tanda-tanda akan
berakhir ialah perang antara
Rusia dan Ukraina yang dimulai sejak invasi Rusia ke
Ukraina pada Februari 2022, yang
dampaknya sangat besar terhadap perekonomian global.
Rusia adalah salah satu produsen energi terbesar di
dunia, dengan cadangan gas alam dan minyak yang melimpah. Sementara di sisi lain, Ukraina yang meskipun tidak
sebesar Rusia dalam hal produksi energi, berperan sebagai jalur transit penting
untuk gas alam yang mengalir dari Rusia ke Eropa. Konflik ini menyebabkan
gangguan signifikan dalam pasokan energi global. Eropa sangat bergantung pada
gas alam Rusia, dan sanksi ekonomi yang dijatuhkan oleh negara-negara Barat
terhadap Rusia mengurangi akses ke sumber energi ini. Sebagai akibatnya, harga
energi, terutama gas dan minyak, meningkat tajam. Ketidakpastian pasokan energi
ini memperburuk krisis energi di Eropa dan mendorong negara-negara lain untuk
mencari sumber energi alternatif, yang sering kali dengan harga yang lebih
tinggi.
Perang antara Rusia dan Ukraina ini juga mengganggu
perdagangan global, terutama dalam hal ekspor dan impor barang. Rusia dan
Ukraina adalah produsen utama gandum, jagung, dan biji-bijian lainnya. Konflik
ini telah menyebabkan gangguan besar dalam rantai pasokan pangan global,
meningkatkan harga pangan, dan memperburuk krisis pangan di beberapa negara
berkembang yang sangat bergantung pada impor dari kedua negara tersebut. Selain
itu, kenaikan harga energi dan pangan akibat perang antara Rusia dan Ukraina ini
memperburuk inflasi di banyak negara, baik negara maju maupun negara
berkembang. Tingginya tingkat inflasi ini mendorong bank-bank sentral di banyak
negara, termasuk AS dan negara-negara Eropa, terpaksa menaikkan suku bunga
untuk menahan inflasi. Meskipun langkah ini dapat mengurangi tekanan inflasi,
langkah ini juga dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan beban
utang negara dan rumah tangga.
Seperti halnya perang Rusia-Ukraina yang mengganggu
pasokan energi Eropa, konflik di Timur Tengah juga berpengaruh terhadap
stabilitas pasokan minyak global. Konflik-konflik
seperti perang saudara di Suriah, ketegangan antara Iran dan Arab Saudi, serta
ketegangan dalam konflik antara Palestina dan Israel. Konflik-konflik ini
sering kali melibatkan negara-negara besar dengan kepentingan strategis dan
sumber daya energi yang sangat berharga. Seperti dampak terhadap stabilitas
energi karena Timur Tengah merupakan rumah bagi sebagian besar cadangan minyak
dunia, dan ketegangan di wilayah ini sering kali memengaruhi harga energi
global. Ketika ketegangan meningkat, misalnya melalui serangan terhadap
fasilitas minyak atau blokade jalur pengiriman energi, harga minyak dapat
melonjak tajam. Ketidakpastian pasokan energi ini dapat menyebabkan fluktuasi
harga yang signifikan di pasar global, yang pada akhirnya mempengaruhi biaya
produksi dan harga barang dan jasa. Konflik di Timur Tengah juga dapat
mengganggu jalur perdagangan internasional, khususnya jalur pengiriman energi
melalui Selat Hormuz, yang merupakan salah satu jalur utama untuk pengiriman
minyak dari Timur Tengah ke pasar global. Setiap ancaman terhadap jalur ini
dapat menimbulkan ketidakpastian besar dalam perdagangan energi global, yang
dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi global.
Krisis lain yang juga sangat berpengaruh pada stabilitas
global ialah krisis perubahan iklim. Perubahan iklim telah berkembang menjadi
ancaman serius terhadap ketahanan pangan global. Lebih mengkhawatirkan lagi, World Economic Forum memperkirakan bahwa pada tahun 2025, perubahan
iklim akan menyebabkan 14,5 juta kematian dan kerugian ekonomi mencapai $12,5
triliun secara global. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, tetapi
mencerminkan krisis kemanusiaan yang membutuhkan respons segera dan
terkoordinasi. Konflik, perubahan iklim, dan kenaikan harga pangan, bersama
dengan dampak yang masih ada dari pandemi COVID-19, sangat mengancam kemajuan
dalam mencapai Target gizi global pada 2030.
Ketimpangan global dalam menghadapi dampak perubahan
iklim terlihat jelas dalam konteks krisis air. Wilayah seperti Afrika Tengah,
meskipun memiliki sumber daya air yang memadai, tetap diklasifikasikan sebagai
daerah rawan air. Hal ini menggambarkan bagaimana infrastruktur, teknologi, dan
kapasitas adaptasi yang tidak merata berkontribusi pada ketimpangan global
dalam menghadapi krisis iklim. Wilayah Tanduk Afrika menjadi contoh nyata
bagaimana berbagai krisis dapat saling menguatkan dan menciptakan situasi
kemanusiaan yang kompleks. Di wilayah ini, 49 juta orang menghadapi kerawanan
pangan akut, sementara 19 juta lainnya menjadi pengungsi akibat kekeringan dan
banjir. Situasi ini diperparah dengan munculnya berbagai wabah penyakit seperti
kolera, campak, malaria, dan demam berdarah. Sudan menjadi contoh ekstrem
dengan hampir 25 juta penduduknya membutuhkan bantuan kemanusiaan pada tahun
2024.
Tahun 2023 mencatat serangkaian bencana alam yang
menggambarkan intensitas dampak perubahan iklim. Gempa bumi dahsyat yang
melanda Turki dan Suriah pada Februari 2023 menjadi salah satu yang terkuat
dalam seabad terakhir. Uni Eropa mengalami kebakaran hutan terbesar dalam sejarahnya
di Evros, Yunani, yang menghanguskan lebih dari 76.000 hektar lahan.
Serangkaian gempa bumi yang melanda Maroko, Afghanistan, dan Nepal sepanjang
tahun tersebut semakin menegaskan kerentanan global terhadap bencana alam. Serangkaian
bencana alam ini semakin menegaskan bahwa dampak perubahan iklim tidak hanya
bersifat lokal, tetapi juga memiliki konsekuensi global yang menuntut respons
internasional yang lebih terkoordinasi.
Hubungan antara bencana alam dan konflik sosial
menampilkan dinamika yang menarik. Meski penelitian menunjukkan bahwa bencana
alam jarang secara langsung mempengaruhi konflik militer antar negara,
dampaknya terhadap stabilitas sosial internal suatu negara tidak bisa
diabaikan. Bencana seringkali menjadi katalis yang memicu ketegangan sosial,
terutama dalam bentuk protes dan ketidakpuasan masyarakat terhadap penanganan
krisis oleh pemerintah. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui dua jalur utama:
pertama, munculnya keluhan dari masyarakat terdampak yang berpotensi mengarah
pada dukungan terhadap kelompok-kelompok pemberontak, dan kedua, tumbuhnya
motivasi di kalangan kelompok militan lokal untuk menentang elit politik yang
dianggap gagal dalam menangani situasi darurat.
Selain dari keluhan masyarakat yang terdampak bencana
alam, ketegangan sosial dapat dipicu juga oleh perkembangan teknologi kecerdasan
buatan (AI) yang berpotensi menggantikan jutaan pekerjaan didunia. Sebagai mana
Riset Populix (2024) menunjukkan 62% masyarakat Indonesia khawatir kehilangan
pekerjaan karena ketidakmampuan bersaing dengan teknologi yang bekerja
24/7. Meskipun peningkatan AI masih
ditahap awal, namun kita dapat melihat bahwa di tahap ini AI sudah berdampak
bagi kehidupan kita termasuk pekerjaan. Rata-rata pekerjaan yang tergantikan
lebih dulu adalah tenaga kerja yang biasanya ditekuni oleh middle class
society, 5 tahun kedepan yakni 2030 diperkiran akan menjadi puncak bagi
tergantikannya pekerjaan middle class dan akan menyebabkan meningkatnya
pengangguran, bahkan situasi terburuk the great depression fase 2 akan terjadi.
Hal ini berarti AI tidak hanya mengurangi lapangan kerja tetapi juga
memperlebar jurang distribusi pendapatan. Negara berkembang seperti Indonesia
menghadapi risiko lebih besar karena minimnya infrastruktur dan keterampilan
untuk mengadopsi AI, bahkan masih banyak masyarakat Indonesia yang belum
terbuka dan memiliki pengetahuan tentang AI, sementara perusahaan besar yang
mengadopsi teknologi ini semakin menguasai perekonomian. Jika tidak
diantisipasi dengan pelatihan ulang (reskilling) dan kebijakan inklusif,
dampaknya bisa berupa pengangguran massal dan ketidakstabilan sosial.
Dengan semakin berkembangnya teknologi, AI menjadi
senjata baru dalam kejahatan siber, terutama melalui teknologi deepfake yang
mampu membuat konten audio/video palsu dengan tingkat realisme tinggi. Pada
2025, serangan deepfake diprediksi merajalela, seperti kasus di Hong Kong
(2024) di mana video palsu CFO perusahaan digunakan untuk penipuan finansial
senilai ratusan juta dolar. Di Thailand, Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra
nyaris menjadi korban penipuan suara AI yang meniru pemimpin asing. Teknologi
ini juga rentan disalahgunakan untuk tujuan politik, seperti penyebaran
misinformasi atau rekayasa opini publik. Palo Alto Networks memperingatkan
bahwa deepfake suara akan menjadi ancaman utama karena kemudahan pembuatannya.
Selain itu, AI mempercepat serangan siber seperti ransomware pada 2026, peretas
hanya perlu 15 menit untuk mengembangkan malware.
Menurut data dari XRATOR dan ENISA, ada 10 ancaman siber
yang diperkirakan akan menjadi masalah besar pada tahun 2030. Salah satu
ancaman utama adalah serangan rantai pasokan, di mana hacker bisa
mengeksploitasi kelemahan dalam sistem pihak ketiga yang bekerja sama dengan
sebuah perusahaan. Selain itu, disinformasi canggih juga menjadi ancaman
serius, dengan penggunaan AI untuk menyebarkan berita palsu secara masif. Pengawasan
digital juga semakin mengkhawatirkan karena data pribadi pengguna bisa
dikumpulkan tanpa izin dan digunakan untuk tujuan yang merugikan.
Negara-negara besar seperti AS, China, dan Uni Eropa
berlomba menguasai AI melalui investasi masif dalam riset dan pengembangan.
Persaingan ini memicu “perlombaan senjata digital” yang berpotensi meningkatkan
ketegangan global. Negara-negara besar seperti AS,
China, dan Uni Eropa bersaing dalam penguasaan AI melalui investasi besar di
riset dan pengembangan, memicu "perlombaan senjata digital" yang
berpotensi meningkatkan ketegangan global. AS, dengan perusahaan seperti
Microsoft-OpenAI dan Google, bersaing dengan raksasa China seperti Baidu,
DeepSeek, dan Alibaba (Qwen 2.5 Max). Uni Eropa juga berinvestasi US$206 miliar
untuk mengejar ketertinggalan, terutama setelah AS mengumumkan proyek Stargate.
Penguasaan AI bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga geopolitik, negara yang menguasai AI dapat memengaruhi standar
global, mulai dari etika hingga regulasi. Namun, kurangnya kolaborasi
internasional dalam pengatuean AI berisiko menciptakan fragmentasi kebijakan
dan eskalasi konflik siber.
KESIMPULAN
Kajian ini mengungkap bahwa tiga krisis utama yang
dihadapi dunia saat ini, yakni konflik
geopolitik, bencana iklim, dan disrupsi teknologi memiliki dampak yang luas
terhadap stabilitas global. Konflik geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina dan
ketegangan di Timur Tengah tidak hanya menyebabkan ketidakstabilan politik,
tetapi juga mengganggu rantai pasokan energi dan pangan global. Ketidakmampuan dalam mengelola konflik geopolitik dapat
memperburuk kondisi ekonomi, yang pada gilirannya menghambat upaya mitigasi
perubahan iklim dan pengembangan teknologi yang bertanggung jawab. Bencana
alam yang semakin sering terjadi akibat perubahan iklim memperparah krisis
kemanusiaan, ketidakmampuan mengatasi perubahan iklim akan memperburuk
ketimpangan sosial, memicu peningkatan fenomena urbanisasi, dan memperbesar
risiko konflik internal dalam negeri maupun eksternal antarnegara. Sementara
itu, kemajuan teknologi, terutama dalam bidang kecerdasan buatan dan keamanan
siber, membawa tantangan baru yang berpotensi memperburuk kesenjangan ekonomi
dan meningkatkan risiko kejahatan digital. Sebagai respons
terhadap gejolak ini, negara-negara mungkin akan berupaya mencari sumber energi
alternatif atau memperkuat kebijakan ekonomi dalam negeri, meskipun upaya
tersebut sering kali tidak dapat sepenuhnya mengatasi dampak jangka pendek dari
konflik-konflik ini.
Dari temuan ini, jelas bahwa dunia membutuhkan
pendekatan yang lebih terkoordinasi untuk menangani tantangan-tantangan
tersebut. Diperlukan kebijakan global yang lebih inklusif, investasi dalam
adaptasi perubahan iklim, serta regulasi ketat terhadap pengembangan teknologi
agar dampaknya tidak memperburuk ketimpangan sosial. Kolaborasi antarnegara
sangat penting dalam menjaga stabilitas dunia, baik melalui diplomasi,
kebijakan ekonomi yang lebih adil, maupun regulasi yang mampu merespons
perubahan teknologi dengan bijaksana. Jika tidak ada upaya yang sistematis dan
kolektif, ketiga krisis ini berpotensi semakin memperburuk ketidakstabilan
global dalam jangka panjang.
Kajian ini menunjukkan bahwa masa depan ketahanan
manusia bergantung pada kemampuan kita untuk memahami dan merespons keterkaitan
antara berbagai krisis.
REFERENSI
Bündnis Entwicklung Hilft. (2024). The
World Risk Report 2024 - Focus: Multiple Crises - World. In ReliefWeb.
IFHV.
https://reliefweb.int/report/world/worldriskreport-2024-focus-multiple-crises
Dano, D. (2023). Ekonomi Perang:
Memahami Konflik Rusia-Ukraina Dari Sudut Pandang Ekonomi. Lombok: Pusat
Pengembangan dan Penelitian Indonesia.
European Commission. (n.d.). 8
crises the world must not look away from in 2024. European Commission; European
Civil Protection and Humanitarian Aid Operations. https://civil-protection-humanitarian-aid.ec.europa.eu/news-stories/stories/8-crises-world-must-not-look-away-2024_en
FAO, IFAD, UNICEF, WFP, & WHO. (2023).
The State of Food Security and Nutrition in the World 2023. THE STATE of
FOOD SECURITY and NUTRITION in the WORLD. https://doi.org/10.4060/cc3017en
Fatika, R. A. (2024, December
19). 62% Masyarakat Indonesia Khawatir Pekerjaannya Digantikan oleh AI.
Goodstats.
https://data.goodstats.id/statistic/62-masyarakat-indonesia-khawatir-pekerjaannya-digantikan-oleh-ai-zjAw5
Madina Khudaykulova, H. Y.
(2022). Economic Consequences and Implications of the Ukraine-Russia War. Journal
of Management Science and Business Administration.
Moningka, R. I., Ma’arif, S.,
Abidin S, Z., Putra Apriyanto, I. N., & Aritonang, S. (2025). Dampak
Strategis Perang Rusia – Ukraina terhadap Level Stabilitas Nasional ditinjau
dari Aspek Astagatra berbasis 3 Dimensi. Jurnal ISO: Jurnal Ilmu
Sosial, Politik Dan Humaniora, 5(1), 16. https://doi.org/10.53697/iso.v5i1.2222
Romadhon, M. I., Amalia, D. S.,
Fauziyah, A. R., & Pandin, M. Y. R. (2024). Dampak Geopolitik Perang
Israel-Iran Terhadap Pengelolaan Portofolio Investasi Global. Innovative:
Journal Of Social Science Research, 4(6), 6333–6347. https://doi.org/10.31004/innovative.v4i6.16067
Sari, R. P. (2025, January 17).
Deepfake AI: Ancaman Baru Keamanan Siber di Tahun 2025. CyberHub.
https://cyberhub.id/berita/deepfake-ai-ancaman-siber-2025
Toh, M. (2023). 300 million jobs could
be affected by latest wave of AI, says Goldman Sachs. CNN; CNN Business.
https://edition.cnn.com/2023/03/29/tech/chatgpt-ai-automation-jobs-impact-intl-hnk/index.html?utm_source=chatgpt.com
World Economic Forum. (2024). Quantifying
the Impact of Climate Change on Human Health. World Economic Forum.
https://www.weforum.org/publications/quantifying-the-impact-of-climate-change-on-human-health/